Manusia Normal dan Tidak Normal
Normal dan tidak normal
Diskusi tentang apa yang disebut normal atau tidak merupakan hal yang menarik di cabang ilmu psikologi. Dalam bidang psikologi klinis, penggolongan normal atau tidak merupakan hal penting. Batasan tentang normal atau tidak normal akan membantu psikolog menegakkan diagnosis dan merekomendasi serta melakukan treatment yang tepat untuk kliennya.
Umumnya orang mengatakan yang normal itu berkaitan dengan batasan tertentu. Jika lewat dari batasan itu, dikatakan tidak normal. Namun patokan-patokan mengenai normalitas ternyata memunculkan sejumlah ketidakpuasan. Salah satu hal yang penting adalah bagaimana dan siapa yang membuat patokan tadi. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji konsep normal dan abnormal khususnya dalam pemberlakuan kebijakan dalam menanggulangi masalah narkoba.
Pengertian normal yang paling mudah adalah pengertian yang mengacu pada sejumlah indeks statistik seperti rata-rata, standar deviasi, dan modus. Juga, konsep adanya distribusi normal pada populasi. Dengan mengacu pada indeks statistik, seseorang bisa mengatakan perilaku tertentu tergolong normal atau tidak. Jadi yang dimaksud dengan normal di sini adalah sesuai dengan standar kebanyakan orang dalam populasi.
Pendekatan ini berasumsi bahwa pada populasi selalu terjadi distribusi normal. Hal itu bisa diumpamakan dalam populasi mahasiswa/i di universitas. Jika kita ingin meminta mereka berbaris menurut tinggi badannya, misalnya, kita akan menemukan setidaknya tiga kategori yakni yang tidak terlalu tinggi atau pendek (letakkan misalnya di sebelah kiri), lalu yang sedangsedang tingginya (letakkan di tengah), dan yang tinggi-tinggi (sebelah kanan). Maka kita akan memperoleh sebaran yang berbentuk seperti lonceng (lihat gambar). Dalam sebuah populasi, kebanyakan orang berada pada posisi di tengah. Sementara itu, yang ‘tidak sesuai’ dengan kebanyakan orang akan berada di sebelah kiri atau kanan.
Dengan demikian, yang dikatakan sebagai normal adalah yang sesuai dengan kebanyakan orang dalam populasi. Namun, hal itu pada kenyataannya tidak digunakan secara konsisten. Misalnya, ada atlet yang tempo berlarinya lebih cepat daripada kebanyakan orang toh tidak dikatakan sebagai abnormal. Contoh lain, misalnya pada waktu kita mengatakan yang normal adalah mereka yang patuh pada peraturan, jika ada yang tidak patuh akan dikatakan tidak normal. Namun dalam ketidaknormalan itu, bisa juga berarti memberontak terhadap peraturan atau kreatif memanfaatkan celah dalam peraturan.
Pada kenyataannya, orang lebih suka menerima hal-hal yang dilakukan atau dimiliki oleh kelompok yang berada di sebelah kanan (yang sifatnya lebih) dan kurang tertarik dengan kelompok sebelah kiri (atau paling jauh adalah muncul rasa kasihan). Misalnya saja lebih menarik untuk mengkaji orang jenius jika dibandingkan dengan yang idiot, lebih menyenangkan membahas halhal yang membuat seseorang menjadi kreatif dan bukan menyebabkan seseorang tidak kreatif. Padahal kalau dilihat secara statistik, kedua-duanya tergolong tidak normal.
Sampai di sini, tampaknya kita perlu berhati-hati dan waspada dalam mengategorisasi antara perilaku normal dan tidak normal. Jadi menurut Anda, orang yang menyalahgunakan narkoba itu normal atau tidak? Orang yang tidak menggunakan narkoba tapi tinggal bersama-sama para pecandu, normal atau tidak? Aktivis-aktivis yang berjuang mencegah penyalahgunaan narkoba di tengah masyarakat kebanyakan tidak peduli soal ini. Menurut mereka, normal atau tidak, hal itu tak perlu dipermasalahkan.
Orang yang dianggap normal biasanya menampilkan perilakuperilaku yang dianggap benar. Perilaku yang kurang tepat (misbehavior) kerap dianggap tidak normal. Dengan demikian, pertanyaannya akan mengarah pada apa yang dikatakan benar? Kapan sesuatu dikatakan benar dan kapan tidak? Di bidang filsafat, masalah kebenaran (truth) merupakan topik yang kerap diperbincangkan.
Konsep abnormal
Model perilaku abnormal juga mulai bermunculan, meliputi model-model yang mewakili perspektif biologis, psikologis, sosiokultural, dan biopsikososial. Di bawah ini adalah penjelasan-penjelasan singkatnya.
Perspektif biologis: Seorang dokter Jerman, Wilhelm Griesinger (1817-1868) menyatakan bahwa perilaku abnormal berakar pada penyakit di otak. Pandangan ini cukup memengaruhi dokter Jerman lainnya, seperti Emil Kraepelin (1856-1926) yang menulis buku teks penting dalam bidang psikiatri pada tahun 1883. Ia meyakini bahwa gangguan mental berhubungan dengan penyakit fisik. Memang tidak semua orang yang mengadopsi model medis ini meyakini bahwa setiap pola perilaku abnormal merupakan hasil dari kerusakan biologis, namun mereka mempertahankan keyakinan bahwa pola perilaku abnormal tersebut dapat dihubungkan dengan penyakit fisik karena ciri-cirinya dapat dikonseptualisasikan sebagai simtom-simtom dari gangguan yang mendasarinya.
Perspektif psikologis: Sigmund Freud, seorang dokter muda Austria (1856-1939) berpikir bahwa penyebab perilaku abnormal terletak pada interaksi antara kekuatan-kekuatan di dalam pikiran bawah sadar. Model yang dikenal sebagai model psikodinamika ini merupakan model psikologis utama yang pertama membahas mengenai perilaku abnormal.
Perspektif sosiokultural: Pandangan ini meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks-konteks sosial yang lebih luas di mana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari perilaku abnormal. Penyebab perilaku abnormal dapat ditemukan pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. Masalah-masalah psikologis bisa jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat, seperti kemiskinan, perpecahan sosial, diskriminasi ras, gender, gaya hidup, dan sebagainya.
Perspektif biopsikososial: Pandangan ini meyakini bahwa perilaku abnormal terlalu kompleks untuk dapat dipahami hanya dari salah satu model atau perspektif. Mereka mendukung pandangan bahwa perilaku abnormal dapat dipahami dengan paling baik bila memperhitungkan interaksi antara berbagai macam penyebab yang mewakili bidang biologis, psikologis, dan sosiokultural.
Menutut Coleman (dalam Mengenal Perilaku Abnormal, Dr. A. Supratinka), setidaknya ada lima cirri perilaku abnormal:
1. Penyimpangan dari norma-norma statistic
Ketika ada perilaku yang berada diluar norma-norma kurva statsitik yang normal, maka itu bisa disebut perilaku abnormal. Misal: normalnya, setiap tahunnya, jika semakin banyak orang yang mengikuti ritual-ritual keagamaan tertentu, maka semakin banyak pula orang yang “taubat”, baik, sholeh, dan berprilaku baik. Tapi malah, kenyataannya tidak demikian. Maka ini bisa kita sebut perilaku abnormal.
2. Penyimpangan dari norma-norma social
Inti pentingnya adalah: apa saja yang umum, berarti itu normal secara social. Sehingga ketika ada perilaku yang dinilai tidak umum (dalam pandangan suatu masyarakat) maka itu bisa disebut perilaku abnormal.
3. Gejala “salah suai” (maladjustment)
Abnormalitas dipandang sebagai: ketidakefektifan individu dalam menghadapi, menanggapi dan melaksanakan tuntutan-tuntutan dari lingkungan fisik sosialnya. Sehingga ketidakmampuan perilaku menyesuaikan, bisa disebut perilaku abnormal. Menyesuaikan disini bukan berarti kita harus selalu mengikuti perkembangan dan perubahan dengan bebas, tetapi harus dengan tepat guna. Penggunaan kamera HP dan kamera digital yang tidak sesuai dengan fungsinya yang baik, maka bisa dikategorikan maladaptive atau abnormal.
4. tekanan batin
lebih bersifat kedalam jiwa manusia. Seperti perasaan-perasaan: cemas, sedih, depresi, rasa bersalah yang mendalam. Jika setelah melakukan perbuatan bugil depan kamera ada perasaan seperti yang disebutkan diatas, maka sudah pasti perilaku ini abnormal.
5. ketidakmatangan
Rumus besarnya begini: ketika perilaku seseorang, tidak sesuai dengan tingkat usia sebenarnya, dan atau tidak selaras dengan situasinya, maka perilaku tersebut bisa dikatakan perilaku abnormal.
Konsep normal
Kata normal, normality, normalcy,norm, average dan abnormal masuk ke daratan Eropa relatif belum lama. Kata-kata tersebut mulai diperkenalkan dalam bahasa Inggris sekitar tahun 1840. Selanjutnya kata normal tersebut dipakai secara luas antara tahun 1840-1860. Selain itu Quetelet juga memperkenalkan konsep “kelompok dibawah rata-rata” yang dia sebut “les classes moyen”.
Dua teori normalitas yang disodorkan Quetelet tersebut memunculkan konsep tentang kecacatan. Sebuah konsep yang didasarkan pada karakteristik rata-rata manusia. Karakteristik yang lebih menekankan pada kondisi fisik manusia seperti berat ,tinggi, dan bentuk tubuh. Maka jika ada salah satu kelompok atau individu dalam masyarakat yang memiliki karakteristik diluar karakteristik rata-rata, maka mereka digolongkan sebagai kelompok atau individu yang “tidak normal”. Konsep ini kemudian berpengaruh pada pola pikir masyarakat kita terutama para ahli kesehatan dalam melihat kecacatan. Mereka berfikiran bahwa sesuatu yang berada diluar standard kenormalan harus dirubah atau disesuaikan untuk menjadi normal. Maka konsep rehabilitasi fisik ditawarkan oleh mereka sebagai solusi penyelesaian persoalan kecacatan. Operasi medik dilakukan terhadap mereka yang memiliki bentuk kaki ataupun tangan yang berbeda dari kebanyakan orang.
Normal dan tidak normal
Diskusi tentang apa yang disebut normal atau tidak merupakan hal yang menarik di cabang ilmu psikologi. Dalam bidang psikologi klinis, penggolongan normal atau tidak merupakan hal penting. Batasan tentang normal atau tidak normal akan membantu psikolog menegakkan diagnosis dan merekomendasi serta melakukan treatment yang tepat untuk kliennya.
Umumnya orang mengatakan yang normal itu berkaitan dengan batasan tertentu. Jika lewat dari batasan itu, dikatakan tidak normal. Namun patokan-patokan mengenai normalitas ternyata memunculkan sejumlah ketidakpuasan. Salah satu hal yang penting adalah bagaimana dan siapa yang membuat patokan tadi. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji konsep normal dan abnormal khususnya dalam pemberlakuan kebijakan dalam menanggulangi masalah narkoba.
Pengertian normal yang paling mudah adalah pengertian yang mengacu pada sejumlah indeks statistik seperti rata-rata, standar deviasi, dan modus. Juga, konsep adanya distribusi normal pada populasi. Dengan mengacu pada indeks statistik, seseorang bisa mengatakan perilaku tertentu tergolong normal atau tidak. Jadi yang dimaksud dengan normal di sini adalah sesuai dengan standar kebanyakan orang dalam populasi.
Pendekatan ini berasumsi bahwa pada populasi selalu terjadi distribusi normal. Hal itu bisa diumpamakan dalam populasi mahasiswa/i di universitas. Jika kita ingin meminta mereka berbaris menurut tinggi badannya, misalnya, kita akan menemukan setidaknya tiga kategori yakni yang tidak terlalu tinggi atau pendek (letakkan misalnya di sebelah kiri), lalu yang sedangsedang tingginya (letakkan di tengah), dan yang tinggi-tinggi (sebelah kanan). Maka kita akan memperoleh sebaran yang berbentuk seperti lonceng (lihat gambar). Dalam sebuah populasi, kebanyakan orang berada pada posisi di tengah. Sementara itu, yang ‘tidak sesuai’ dengan kebanyakan orang akan berada di sebelah kiri atau kanan.
Dengan demikian, yang dikatakan sebagai normal adalah yang sesuai dengan kebanyakan orang dalam populasi. Namun, hal itu pada kenyataannya tidak digunakan secara konsisten. Misalnya, ada atlet yang tempo berlarinya lebih cepat daripada kebanyakan orang toh tidak dikatakan sebagai abnormal. Contoh lain, misalnya pada waktu kita mengatakan yang normal adalah mereka yang patuh pada peraturan, jika ada yang tidak patuh akan dikatakan tidak normal. Namun dalam ketidaknormalan itu, bisa juga berarti memberontak terhadap peraturan atau kreatif memanfaatkan celah dalam peraturan.
Pada kenyataannya, orang lebih suka menerima hal-hal yang dilakukan atau dimiliki oleh kelompok yang berada di sebelah kanan (yang sifatnya lebih) dan kurang tertarik dengan kelompok sebelah kiri (atau paling jauh adalah muncul rasa kasihan). Misalnya saja lebih menarik untuk mengkaji orang jenius jika dibandingkan dengan yang idiot, lebih menyenangkan membahas halhal yang membuat seseorang menjadi kreatif dan bukan menyebabkan seseorang tidak kreatif. Padahal kalau dilihat secara statistik, kedua-duanya tergolong tidak normal.
Sampai di sini, tampaknya kita perlu berhati-hati dan waspada dalam mengategorisasi antara perilaku normal dan tidak normal. Jadi menurut Anda, orang yang menyalahgunakan narkoba itu normal atau tidak? Orang yang tidak menggunakan narkoba tapi tinggal bersama-sama para pecandu, normal atau tidak? Aktivis-aktivis yang berjuang mencegah penyalahgunaan narkoba di tengah masyarakat kebanyakan tidak peduli soal ini. Menurut mereka, normal atau tidak, hal itu tak perlu dipermasalahkan.
Orang yang dianggap normal biasanya menampilkan perilakuperilaku yang dianggap benar. Perilaku yang kurang tepat (misbehavior) kerap dianggap tidak normal. Dengan demikian, pertanyaannya akan mengarah pada apa yang dikatakan benar? Kapan sesuatu dikatakan benar dan kapan tidak? Di bidang filsafat, masalah kebenaran (truth) merupakan topik yang kerap diperbincangkan.
Konsep abnormal
Model perilaku abnormal juga mulai bermunculan, meliputi model-model yang mewakili perspektif biologis, psikologis, sosiokultural, dan biopsikososial. Di bawah ini adalah penjelasan-penjelasan singkatnya.
Perspektif biologis: Seorang dokter Jerman, Wilhelm Griesinger (1817-1868) menyatakan bahwa perilaku abnormal berakar pada penyakit di otak. Pandangan ini cukup memengaruhi dokter Jerman lainnya, seperti Emil Kraepelin (1856-1926) yang menulis buku teks penting dalam bidang psikiatri pada tahun 1883. Ia meyakini bahwa gangguan mental berhubungan dengan penyakit fisik. Memang tidak semua orang yang mengadopsi model medis ini meyakini bahwa setiap pola perilaku abnormal merupakan hasil dari kerusakan biologis, namun mereka mempertahankan keyakinan bahwa pola perilaku abnormal tersebut dapat dihubungkan dengan penyakit fisik karena ciri-cirinya dapat dikonseptualisasikan sebagai simtom-simtom dari gangguan yang mendasarinya.
Perspektif psikologis: Sigmund Freud, seorang dokter muda Austria (1856-1939) berpikir bahwa penyebab perilaku abnormal terletak pada interaksi antara kekuatan-kekuatan di dalam pikiran bawah sadar. Model yang dikenal sebagai model psikodinamika ini merupakan model psikologis utama yang pertama membahas mengenai perilaku abnormal.
Perspektif sosiokultural: Pandangan ini meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks-konteks sosial yang lebih luas di mana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari perilaku abnormal. Penyebab perilaku abnormal dapat ditemukan pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. Masalah-masalah psikologis bisa jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat, seperti kemiskinan, perpecahan sosial, diskriminasi ras, gender, gaya hidup, dan sebagainya.
Perspektif biopsikososial: Pandangan ini meyakini bahwa perilaku abnormal terlalu kompleks untuk dapat dipahami hanya dari salah satu model atau perspektif. Mereka mendukung pandangan bahwa perilaku abnormal dapat dipahami dengan paling baik bila memperhitungkan interaksi antara berbagai macam penyebab yang mewakili bidang biologis, psikologis, dan sosiokultural.
Menutut Coleman (dalam Mengenal Perilaku Abnormal, Dr. A. Supratinka), setidaknya ada lima cirri perilaku abnormal:
1. Penyimpangan dari norma-norma statistic
Ketika ada perilaku yang berada diluar norma-norma kurva statsitik yang normal, maka itu bisa disebut perilaku abnormal. Misal: normalnya, setiap tahunnya, jika semakin banyak orang yang mengikuti ritual-ritual keagamaan tertentu, maka semakin banyak pula orang yang “taubat”, baik, sholeh, dan berprilaku baik. Tapi malah, kenyataannya tidak demikian. Maka ini bisa kita sebut perilaku abnormal.
2. Penyimpangan dari norma-norma social
Inti pentingnya adalah: apa saja yang umum, berarti itu normal secara social. Sehingga ketika ada perilaku yang dinilai tidak umum (dalam pandangan suatu masyarakat) maka itu bisa disebut perilaku abnormal.
3. Gejala “salah suai” (maladjustment)
Abnormalitas dipandang sebagai: ketidakefektifan individu dalam menghadapi, menanggapi dan melaksanakan tuntutan-tuntutan dari lingkungan fisik sosialnya. Sehingga ketidakmampuan perilaku menyesuaikan, bisa disebut perilaku abnormal. Menyesuaikan disini bukan berarti kita harus selalu mengikuti perkembangan dan perubahan dengan bebas, tetapi harus dengan tepat guna. Penggunaan kamera HP dan kamera digital yang tidak sesuai dengan fungsinya yang baik, maka bisa dikategorikan maladaptive atau abnormal.
4. tekanan batin
lebih bersifat kedalam jiwa manusia. Seperti perasaan-perasaan: cemas, sedih, depresi, rasa bersalah yang mendalam. Jika setelah melakukan perbuatan bugil depan kamera ada perasaan seperti yang disebutkan diatas, maka sudah pasti perilaku ini abnormal.
5. ketidakmatangan
Rumus besarnya begini: ketika perilaku seseorang, tidak sesuai dengan tingkat usia sebenarnya, dan atau tidak selaras dengan situasinya, maka perilaku tersebut bisa dikatakan perilaku abnormal.
Konsep normal
Kata normal, normality, normalcy,norm, average dan abnormal masuk ke daratan Eropa relatif belum lama. Kata-kata tersebut mulai diperkenalkan dalam bahasa Inggris sekitar tahun 1840. Selanjutnya kata normal tersebut dipakai secara luas antara tahun 1840-1860. Selain itu Quetelet juga memperkenalkan konsep “kelompok dibawah rata-rata” yang dia sebut “les classes moyen”.
Dua teori normalitas yang disodorkan Quetelet tersebut memunculkan konsep tentang kecacatan. Sebuah konsep yang didasarkan pada karakteristik rata-rata manusia. Karakteristik yang lebih menekankan pada kondisi fisik manusia seperti berat ,tinggi, dan bentuk tubuh. Maka jika ada salah satu kelompok atau individu dalam masyarakat yang memiliki karakteristik diluar karakteristik rata-rata, maka mereka digolongkan sebagai kelompok atau individu yang “tidak normal”. Konsep ini kemudian berpengaruh pada pola pikir masyarakat kita terutama para ahli kesehatan dalam melihat kecacatan. Mereka berfikiran bahwa sesuatu yang berada diluar standard kenormalan harus dirubah atau disesuaikan untuk menjadi normal. Maka konsep rehabilitasi fisik ditawarkan oleh mereka sebagai solusi penyelesaian persoalan kecacatan. Operasi medik dilakukan terhadap mereka yang memiliki bentuk kaki ataupun tangan yang berbeda dari kebanyakan orang.